Kamis, 19 Juli 2012

Freemason & Gerakan Theosofi di Indonesia



      Theosofi yang didirikan oleh Helena Petrovna Blavatsky, seorang wanita asal Rusia berdarah Yahudi, pada 1875 di New York, Amerika Serikat, ini memang memberikan pengaruh yang cukup besar bagi gerak nasionalisme di negeri ini.
Banyak elit-elit nasional dan founding father negeri ini pada masa lalu yang terpengaruh dalam ajaran-ajaran Theosofi ini. Sebagian dari mereka bahkan menjadi anggota resmi dan memegang teguh keyakinan Theosofi. Kebanyakan dari para tokoh yang tergabung dalam Theosofi adalah mereka yang mengusung paham kebangsaan (nasionalisme), dan penganut kebatinan.Mereka umumnya tertarik dengan Theosofi karena jargon yang dikampanyekan oleh organisasi itu, diantaranya soal pluralisme, dimana semua agama pada intinya sama saja, selama menebarkan kebajikan, kasih sayang, toleransi, perdamaian, persamaan, dan sebagainya. Semua itu tercermin dalam motto organisasi ini, yaitu "There is no religion higher than truth", tak ada agama yang lebih tinggi daripada kebajikan.


Helena Petrovna Blavatsky

      Jargon-jargon tersebut pada masa itu disuarakan oleh para humanis Eropa, yaitu mereka yang mengusung paham humanisme sebagai pokok tertinggi dalam kehidupan, yang mana kebanyakan dari mereka adalah para penganut Theosofi ataupun Freemasonry yang datang ketika Indonesia masih bernama Hindia Timur atau sering disebut Hindia Belanda.

      Tak salah jika menyebut bahwa Theosofi memberikan nuansa bagi cikal bakal pluralisme di Indonesia. Karena, disamping para anggotanya dari beragam etnis, bangsa, dan agama, Theosofi juga mengajarkan kesamaan semua agama-agama (trancendent unity of religion) dan kesamaan Tuhan (trancendent unity of God) sebagaimana tercermin dalam pemikiran para tokohnya seperti Madame Blavatsky dan Annie Besant. Ujungnya, mereka ingin membangun sebuah persaudaraan universal, dengan menghapus sekat-sekat agama. Ajaran-ajaran masing-masing agama dihapus dengan nilai-nilai universal yang berlandaskan pada paham humanisme.

      Sejarawan Robert Van Niels dalam buku "Munculnya Elit Modern Indonesia" menyatakan bahwa orang-orang Eropa yang datang ke Hindia Timur pada masa lalu memiliki peranan penting bagi munculnya elit modern Indonesia. Orang-orang Eropa yang datang pada masa itu, adalah para humanis yang tak hanya bekerja sebagai pegawai kolonial, tetapi juga membawa serta pemikiran dan kebudayaan mereka. Sejak tahun 1870, kata Van Niels, kota-kota di Jawa tidak hanya menjadi pusat perdagangan orang-orang Eropa, namun juga menjadi tempat bersemainya kebudayaan dan pemikiran yang mereka bawa.

      Selanjutnya pada masa 1900-an organisasi seperti Theosofi dan Freemason makin berkembang pesat, khususnya di Tanah Jawa dengan munculnya loge-loge tempat pertemuan mereka di berbagai daerah. Karena itu, tak berlebihan jika Theosofi dan Freemason disebut sebagai organisasi yang bergeliat bersama gerak laju kolonialisme di negeri ini, yang kemudian secara tidak langsung melalui elit-elit nasional yang direkrut menjadi anggotanya, mempengaruhi gerak laju nasionalisme negeri ini juga.

      Dalam kata pengantar buku "Teosofi, Nasionalisme dan Elit Modern" Prof. David Reeve dari Universitas New South Wales Australia menyatakan, "Dalam lingkaran orang-orang nasionalis yang sekular, begitu banyak orang-orang yang memiliki hubungan dengan Gerakan Theosofi, "tulisnya. Prof Reeve juga menyatakan, para aktifis Teosofi yang merupakan elit nasional pada masa lalu adalah orang-orang yang juga banyak terlibat dalam perumusan naskah UUD 1945, meskipun ia tak berani menyatakan bahwa prinsip-prinsip dasar Theosofi mempengaruhi pola pikir mereka dalam menyusun UUD tersebut.

      Nama-nama seperti Mohammad Yamin, Prof. Soepono, dan Radjiman Wediodiningrat, adalah tokoh-tokoh Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang banyak menyampaikan gagasan-gagasan soal prinsip-prinsip dasar negara ketika itu. Bahkan Radjiman, yang merupakan tokoh penting dalam Gerakan Theosofi dan anggota resmi kelompok Freemason, adalah ketua sidang BPUPKI, sidang yang kemudian menghasilkan Pancasila sebagai dasar negara. Sedangkan Mohammad Yamin termasuk orang yang berkontribusi besar dalam merumuskan lambang negara Pancasila.

      Tokoh-tokoh nasional lain yang sangat dekat dengan Gerakan Theosofi adalah Mohammad Tabrani (Tokoh kongres Pemuda Pertama pada 1926'Ketua Pemuda Theosofi), Ki Sarmidi Mangoensarkoro (Tokoh Taman Siswa), Ki Hadjar Dewantara (Tokoh Taman Siswa), Tjipto Mangoenkoesomo (Tokoh Boedi Oetomo), Goenawan Mangoenkoesoemo (Tokoh Boedi Oetomo), Armin Pane (Sastrawan), Sanoesi Pane (Sastrawan), Mohammad Amir (tokoh Jong Sumatrenan Bond), Datoek Soetan Maharadja (tokoh kaum adat Minangkabau), Siti Soemandari (pemimpin Majalah Bangoen), dan tokoh-tokoh nasional lainnya, terutama yang berasal dari Keraton Paku Alaman Yogyakarta, organisasi Tri Koro Dharmo, Jong Java, Boedi Oetomo, Perhimpoenan Goeroe Hindia Belanda (PGHB/cikal bakal PGRI), dan para alumnus Sekolah Pendidikan Dokter Hindia (School tot Opleiding van Indische Artsen/STOVIA) di Batavia.

      Pada masa berkembangnya Gerakan Theosofi, gesekan-gesekan pemikiran dengan tokoh-tokoh Islam yang berasal dari Sarekat Islam berlangsung sengit. Bahkan rivalitas antara Boedi Oetomo dan Sarekat Islam, diantaranya juga berpangkal dari pemahaman soal keyakinan dan pemahaman Islam.

      Tokoh Boedi Oetomo, seperti Goenawan Mangoenkoesomo dan Radjiman Wediodiningrat cenderung bersikap konfrontatif terhadap aspirasi Islam. Sehingga tak heran, jika Prof Reeve sebagai akademisi yang pernah meneliti Gerakan Theosofi, menyatakan, "Perkumpulan Teosofi mengaku terbuka untuk semua agama, namun tampaknya mereka menjalin sangat sedikit persentuhan dengan Islam," jelasnya.

      Bukti kedekatan Gerakan Theosofi dengan Boedi Oetomo terlihat dalam Perayaan 10 Tahun Organisasi Boedi Oetomo pada 1918 yang berlangsung di Loge Theosofi, di De Ruijstestraat 67 Den Haag, Belanda. Dalam perayaan tersebut, tokoh-tokoh Boedi Oetomo dan mahasiswa Indonesia, termasuk Ki Hadjar Dewantara dan Goenawan Mangoenkoesomo, menggelar perayaan dan peluncuran buku Soembangsih:Gedenkboek Boedi Oetomo 1908-20 Mei1918. Dalam buku itu, Goenawan Mangoenkoesomo menulis, "Bagaimanapun tinggi nilai kebudayaan Islam, ternyata tidak mampu menembus hati rakyat. Bapak penghulu boleh saja supaya kita mengucap syahadat, "Hanya ada satu Allah dan Muhammad-lah Nabi-Nya", tetapi dia tidak akan bisa berbuat apa-apa bila cara hidup kita, jalan pikiran kita, masih tetap seperti sewaktu kekuasaan Majapahit dihancurkan secara kasar oleh Demak," tulisnya.


      Gerakan Theosofi di Indonesia meninggalkan jejak sejarah yang panjang di negeri ini. Beberapa tokoh yang dikemudian hari menjadi elit nasional di negeri ini, tak lepas dari persentuhannya dengan aliran kebatinan Yahudi ini. Baik sebagai anggota resmi, ataupun sekadar berinteraksi dengan kelompok ini. Pada masa lalu, untuk mengenang keberadaan Gerakan Theosofi, beberapa tempat di Jawa, menggunakan nama-nama dari tokoh Theosofi. Seperti Blavatsky Park di Batavia, Olcott Park di Bandung, dan Besant Square di Semarang. Nama-nama itu merujuk pada tokoh-tokoh Theosofi: Madame H.P Blavatsky, Henry Steel Olcott, dan Annie Besant.

      Sejawaran Universitas Indonesia, Harsja W. Bachtiar menggambarkan tentang apa dan siapa Gerakan Theosofi itu. Dalam sebuah tulisan mengenai Moh. Amir, tokoh Jong Sumatrenan Bond (JSB) yang juga anggota Theosofi, Harsja menulis, "Theosophical Society (Perkumpulan Theosofi), yang dicipta oleh Madame H.P. Blavatsky, seorang bangsawan Rusia, dan Henry Steel Olcott, seorang penganut kebatinan, di New York tahun 1875, dan yang kemudian dipimpin oleh Annie Besant, berusaha mencari kearifan Tuhan, ajaran-ajaran kebatinan seperti Karma dan Reinkarnasi, menyatukan sekalian agama, dan menyatukan agama dan ilmu pengetahuan,"tulisnya.

      Harsja W. Bachtiar kemudian menuliskan bahwa beberapa orang yang dikemudian hari menjadi elit nasional masuk menjadi anggota perkumpulan Dienaren van Indie (Abdi Hindia), sebuah perkumpulan yang didirikan oleh Gerakan Theosofi. Mereka adalah Mohammad Hatta, Djamaluddin Adinegoro (tokoh pers Indonesia), Mohammad Jamin (tokoh Jong Sumatrenan Bond), dan Bahder Djohan (mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada kabinet Natsir dan Wilopo). Tokoh-tokoh lain yang menjadi anggota Dienaren van Indie selain yang disebutkan oleh sejarawan Harsja W. Bachtiar tersebut adalah, Siti Soemandari (tokoh perempuan Indonesia), Ki Sarmidi Mangoensarkoro (tokoh pendidikan Indonesia), Prof. Soepomo (salah seorang perumus UUD 45), dan Prof. Soekanto (tokoh kepolisian Indonesia).

      Perkumpulan Dienaren van Indie yang dipimpin oleh tokoh Theosofi Ir. A.J.H van Leeuwen memberikan beasiswa pendidikan (studie fond) kepada tokoh-tokoh tersebut. Untuk menyatakan keanggotaan mereka, pada nama belakang mereka harus dicantumkan huruf "DI" sebagai tanda dari perkumpulan ini. Anggota Dienaren van Indie yang paling mencolok kiprahnya diantaranya adalah Mohammad Tabrani, tokoh Jong Theosofen (Pemuda Theosofi) yang menjadi penggagas Kongres Pemuda Indonesia pertama pada 1926. Kongres ini diselenggarakan atas biaya kelompok Freemason dan diadakan di loji milik Freemason di Batavia. Loji ini juga sering dijadikan tempat berkumpul para anggota Theosofi, mengingat dua organisasi ini memiliki kesamaan tujuan, yaitu menjadikan paham humanisme sebagai doktrin tertinggi dalam kehidupan. Pada masa lalu, kebanyakan mereka yang menjadi anggota Theosofi, juga menjadi anggota Freemason.

      Sosok yang paling menarik perhatian dari anggota perkumpulan Dienaren van Indie adalah Mohammad Hatta. Dalam buku "Gerakan Theosofi di Indonesia" penulis menyatakan, Hatta setidaknya pernah bersentuhan dengan organisasi ini atau setidaknya berusaha dijerat untuk masuk sebagai anggota Theosofi.

      Hatta bersentuhan dengan Theosofi dalam arti beliau pernah menjadi anggota Dienaren van Indie dan mendapat beasiswa dari perkumpulan ini. Persentuhan Hatta dengan Theosofi melalui tokoh bernama Ir. P Forunier dan Ir. A.J.H van Leeuwen. Sedangkan mengenai usaha menjerat Hatta masuk sebagai anggota Theosofi bisa dilihat dari buku otobiografinya. Dalam buku berjudul, "Mohammad Hatta untuk Negeri" ia menuliskan pengalamanya yang berusaha dibujuk masuk untuk menjadi anggota Theosofi.

      Dalam buku biografinya, Mohammad Hatta menulis sub bab tersendiri, berjudul "Bujukan Theosofi". Hatta menulis, "Hubunganku dengan Ir. Fournier dan Ir. Van Leeuwen ada pula sejarahnya. Selama aku belajar pada PHS (Prins Hendrick School) di Batavia dan menjadi anggota pengurus JSB (Jong Sumatrenan Bond), mereka berdua itu selalu mendekat pemuda-pemuda yang menjadi pengurus Jong Java dan Jong Sumatranen Bond. Mereka yang berdua itu banyak sekali menganjurkan supaya pergerakan pemuda yang bersifat kedaerahan perlu bersatu menjadi Jong Indie. Sebagai contoh dikemukakannya gerakan pemuda di India yang bernama Young India. Sekaligus mereka juga mengajak aku untuk menjadi anggota Theosofi. Sepanjang pengetahuanku, yang kena jerat mereka ialah Basuki dari Jong Java dan Amir dari Jong Sumatranen Bond. Mungkin juga Muhammad Yamin terkena. Aku menolak terus terang, dengan alasan aku taat kepada Islam."demikian tulis Hatta dalam memoarnya.

      Meski Hatta sudah menolak ajakan masuk sebagai anggota Theosofi, ia terus dibujuk dan diyakinkan agar bisa bergabung dalam organisasi ini. Ia menulis, "Ir. Fournier mengatakan, agama Islam tidak menjadi halangan untuk menjadi orang Theosofi. Theosofi bukan agama katanya, melainkan ajaran dan Theosofi memperkuat pendirian Islam untuk mencapai persaudaraan bangsa-bangsa di dunia ini. Tetapi aku terus menolak. Rupanya telah mendapat persetujuan, antara Ir. Fournier, Ir. Van Leeuwen, Amir dan Basuki untuk mengadakan suatu organisasi pemuda baru dengan nama Dienaren van Indie, disingkatkan dengan "DI"", tulisnya lagi.

      Demikianlah, Gerakan Theosofi mempunyai beragam cara untuk bisa merekrut orang-orang pribumi. Mereka membentuk kelompok-kelompok diskusi, organisasi-organisasi kepemudaan, lembaga riset ilmu pengetahuan dan seni budaya, serta memberikan beasiswa. Tokoh-tokoh yang disebutkan di atas, pada perjalanan selanjutnya menjadi elit-elit nasional, yang merumuskan, membangun, dan menentukan arah perjalanan bangsa ini pada waktu itu. Ironisnya, elit-elit modern Indonesia pada masa lalu itu adalah mereka yang pernah bersentuhan bahkan bergabung menjadi anggota Gerakan Theosofi. Rekam jejak mereka yang memarginalkan kepentingan umat Islam pun sangat kentara. Tak heran, jika sampai saat ini, negeri ini masih berada dalam sistem pemerintahan sekular, karena sejak ratusan tahun lalu, doktrin-doktrin yang menihilkan peran agama dalam sistem pemerintahan sudah dijalankan melalui organisasi-organisasi pengusung humanisme sekular, diantaranya Theosofi.

      Meski lepas dari bujukan untuk masuk sebagai anggota Theosofi, namun Mohammad Hatta terus didekati oleh tokoh-tokoh Theosofi. Bahkan, atas jasa tokoh Theosofi ia mendapat beasiswa di negeri Belanda. Lalu, mengapa Hatta masuk dalam perkumpulan Dienaren van Indie yang dibentuk oleh Theosofi?

      Seperti diceritakan dalam tulisan sebelumnya, Mohammad Hatta menolak bujukan Theosofi agar ia mau bergabung sebagai anggotanya. Dengan dalih bahwa Theosofi bukanlah agama, melainkan sebuah perkumpulan persaudaraan, tokoh Theosofi kala itu yang bernama Ir. Fournier terus meyakinkan Hatta agar masuk dalam perkumpulan yang didirikan oleh Madame Blavatsky ini. Untung saja Mohammad Hatta tak mau bergabung, dengan alasan ia taat kepada Islam. Meskipun dalam perjalanan sejarahnya kemudian, ketaatan Hatta terhadap Islam dipertanyakan, karena memberi andil bagi terhapusnya Piagam Jakarta, yang merupakan tonggak awal penegakkan syariat Islam di Indonesia.

      Propaganda bahwa Theosofi bukanlah sebuah agama hanyalah kedok belaka dari upaya merusak keyakinan agama-agama yang ada. Perhatikanlah apa yang dinyatakan oleh salah seorang tokoh Theosofi, Annie Besant, sebagaimana dikutip dalam Majalah Pewarta Theosofi Boewat Indonesia tahun 1930. Ia menyatakan, "Kami berseru kepada kalian semua, marilah kita bekerjasama untuk agama ketentraman, agama kenyataan, agama kemerdekaan, di dunia kerajaan dari surga yang sejati, inilah kita punya haluan..."

      Pernyataan Annie Besant seolah bagus, bahwa Theosofi adalah perkumpulan yang terdiri dari beragam agama yang bertujuan menyebarkan ketentraman dan kemerdekaan. Namun, ujung dari semua itu adalah menihilkan klaim keyakinan mutlak terhadap masing-masing agama. Selama tiap agama mengabdi kepada ketentraman, persaudaraan, dan perdamaian, maka pada hakikatnya semua agama sama. Inilah maksud dari propaganda Theosofi itu. Kita digiring pada pemahaman bahwa semua agama sama benar, dan tidak boleh ada yang merasa paling benar.

      Senada dengan Besant, Madame Blavatsky yang mendapat julukan Sang Guru dari para anggota Theosofi mengatakan bahwa Theosofi adalah The Wisdom Religion (Agama Kearifan) yang berusaha menyatukan semua agama-agama yang ada dalam sebuah "kesatuan hidup" yang selaras dengan nilai-nilai kemanusian. Jadi, ukurannya adalah nilai-nilai kemanusiaan, yang menjadi doktrin tertinggi dalam pengabdian hidup Theosofi. Karena itu, pada akhirnya, semua ajaran agama yang tidak selaras dengan nilai-nilai kemanusian, tidak sesuai dengan konvensi internasional, mengancam persaudaraan antar bangsa dan lain-lain, harus dihapuskan. Inilah tujuan sesungguhnya di balik pemahaman Theosofi itu. Karenanya, apa yang dikatakan oleh Ir. Fournier kepada Mohammad Hatta bahwa Theosofi justru akan menguatkan pandangan keislaman, itu hanya tipuan belaka. Tepat sekali jika Hatta menulis sub bab dalam biografinya dengan judul "Bujukan Theosofi", karena yang namanya bujukan terkadang mengajak pada sesuatu yang di luar kenyataan.

      Meski gagal membujuk Hatta masuk dalam perkumpulan Theosofi, namun para propagandis Theosofi tak patah arang untuk mendekati Hatta. Diantaranya dengan mengajaknya masuk dalam perkumpulan Dienaren van Indie (Abdi Hindia), sebuah perkumpulan yang didirikan oleh para aktifis Theosofi di Hindia Belanda kala itu. Beberapa peneliti tentang Gerakan Theosofi dan Freemason, seperti Sejarawan Ridwan Saidi dan A.D El-Marzededeq, menyebut Dienaren van Indie tak lebih dari kepanjangan tangan organisasi Vrijmetselarij (Freemason) dan Theosofi.

      Dalam Memoir Mohammad Hatta diceritakan, "Aku diundang menghadiri suatu pertemuan, yang diadakan semalam sebelum aku berangkat ke Sumatera Barat dan seterusnya ke negeri Belanda. Dari Jong Sumatrenan Bond, selain Amir (Mohammad Amir, red) dan aku, diundang juga Bahder Djohan dan Nazif. Beberapa orang dari Jong Java, selain dari Basuki, aku lupa namanya. Malam itu juga, berdasarkan cita-cita persatuan, tolong menolong dan persaudaraan, didesakkan berdirinya "Orde Dienaren van Indie". Pada berdirinya Orde Dinaren van Indie itu diajarkan dan dilaksanakan sekaligus ritual-ritual yang dilakukan pada pembukaan dan penutupan rapat atau pertemuan. Pertemuan itu berlangsung sampai pukul 11 malam..." demikian cerita Hatta.

      Dalam catatan otobiografinya di atas, Hatta menyebutkan bahwa pada berdirinya perkumpulan Dienaren van Indie, diajarkan dan dilaksanakan ritual-ritual. Apa ritual-ritual yang dimaksud? Mengingat Theosofi juga mengajarkan okultisme (ilmu gaib), maka bisa jadi yang dimaksud ritual-ritual itu adalah ritual khas Theosofi yang sangat klenik dan berbau mistis. Karena Theosofi sangat kental dengan pengaruh ajaran esoteris khas Yahudi, seperti Kabbalah. Ritual Theosofi dan Freemason yang sangat mistis inilah yang kemudian pada masa lalu orang-orang pribumi menyebut gedung tempat berkumpulnya dua organisasi ini sebagai "Gedong Setan".

      Mohammad Hatta, yang kemudian hari menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia pertama, memang lepas dari bujukan Theosofi. Ia kemudian berangkat ke negeri Belanda untuk memperoleh beasiswa dari Van Daventer Stichting (Yayasan Van Daventer), sebuah yayasan yang mengambil nama seorang tokoh Politik Etis. Namun beasiswa itu gagal diperolehnya. Sementara itu, Hatta menceritakan, "Aku juga menerima sepucuk surat dari Ir. Fournier, kepala gerakan Theosofi di Indonesia. Ia akan datang pada bulan Juli 1923 di Nederland dan ingin bertemu dengan aku. Bersama dia akan datang juga Ir. Van Leeuwen. Itulah surat pertama yang ku terima dari Ir. Fournier selama dua tahun aku berada di Eropa.."

      Setelah kedua tokoh Theosofi yang dikenalnya sejak di Indonesia tiba di negeri Belanda, Hatta kemudian menemuinya. Ia bertemu dengan Ir. Fournier dan Van Leeuwen di Den Haag. Entah ada maksud tertentu atau tidak, kedua tokoh Theosofi ini tak lelak mendekat Hatta. Setelah Hatta menceritakan kegagalannya mendapat beasiswa dari Van Daventer Stichting, Ir. Van Leeuwen kemudian mengusahakan beasiswa bagi Hatta sampai benar-benar ia memperolehnya. Alhasil, atas usaha Van Leeuwen, Hatta mendapat beasiswa selama tiga tahun.


      Mohammad Hatta memang lepas dari bujukan Theosofi, namun ia tidak bisa luput dari perhimpunan Dienren van Indie yang didirikan oleh para aktifis Theosofi. Catatan Hatta berikut ini akan memberikan gambaran kepada pembaca sekalian, bahwa Hatta adalah anggota Dienaren van Indie. Hatta menceritakan perpisahannya dengan dua tokoh Theosofi, Ir. Fournier dan Ir. Van Leeuwen, di negeri Belanda, dengan menulis, "Rupanya kami tidak bertemu lagi sebelum mereka berangkat ke Indonesia. Lalu kami bersalam-salaman secara persaudaraan, menurut dasar D.I (Dienaren van Indie) dengan mengulurkan kedua belah tangan..." tulis Hatta.

     Apa yang dimaksud oleh Hatta dengan bersalam-salaman secara persaudaraan menurut dasar Dienaren van Indie? Apakah sama dengan jabat tangan ala Freemason, mengingat Dienaren van Indie juga dibentuk oleh aktifis organisasi ini? Perkara sepele ini menjadi pertanyaan besar, mengingat Hatta adalah tokoh besar bangsa ini. Dan sejarah adalah rangkaian peristiwa yang saling mengait, kemudian terhimpun menjadi sebuah fakta sejarah.

Artikel Terkait

Tidak ada komentar: